Nama pendekku ardi, usiaku sekarang sudah 25 tahun. Namun aku masih suka duduk
dibangku sekolah menengah pertama, tau kenapa? Karena aku masih belajar bersama anak-anak SMP. Meski tidak jadi murid lagi, namun perkembangan zaman membuat aku untuk terus belajar. Melihat murid-murid seusia itu, memang layak disebut masa untuk mengeksplorasi diri. Banyak kegiatan ku ikuti, banyak mode ku coba, dan banyak
tingkah yang lagi ngetren ku tiru. Tapi kali ini aku ingin cerita tentang
peristiwa yang menarik menurutku. Karena dari peristiwa itu, aku temukan sebuah
hikmah hidup yang menyadarkan siapa aku sebenarnya.
Ramadhan 1417 Hijriah, waktu menjelang kemenangan di penghujung ramadhan selalu diramaikan dengan banyak hal. Salah satu tradisi yang ada di daerah ku waktu itu adalah tradisi orang jawa. Namanya "nutup". Gambaran acaranya itu, setiap akhir ramadhan semua kluarga mengadakan hajatan dalam rangka syukuran telah bisa melaksanakan puasa sebulan lamanya. Walau kadang ada diantara mereka yang tidak puasa. Namun mereka sangat menghormati bulan ramadhan dengan mengadakan banyak tasyakuran di dalamnya.
Salah satu hal istimewa yang ada di menu hajatan tersebut adalah makanan yang namanya "Apem". Ada yang menyebutkan istilah ini adalah hasil akulturasi budaya dari budaya hindu yang sering membuat hajatan dengan syarat atau sesajen tertentu dengan budaya islam dimasa peralihan. Apem berasal dari bahasa arab "Afwan", yang artinya maaf. Moment lebaran idul fitri yang akrab dengan suasana silaturrakhim dan saling memaafkan menjadi moment ajaran agama islam masuk dalam kehidupan masyarakat yang hidup dengan budaya hindu. Banyak kebudayaan hindu yang sedikit demi sedikit dirubah oleh para wali, khususnya wali songo yang menyebarkan islam di tanah jawa yang sebelumnya kental dengan kebudyaan hindu.
Untuk membuat apem, dibutuhkan tepung beras dan santen beberapa hal lainnya. Sore itu, saya bersama tetangga mendapat tugas untuk "nyelepkan" beras agar menjadi tepung. Waktu itu belum ramai menggunakan tepung yang dijual per kantong plastik, tapi melembutkan sendiri. Bisa pakai manual ditumbuk di atas "lumpang" atau kadang dilembutkan pakai alat yang dikenal dengan istilah "selep". Tempatnya agak jauh dari rumah. Aku harus jalan kaki 20 menitan. Karena bersama tetangga maka tidak jalan kaki, tapi naik sepeda. Tempat selepnya ada diseberang jalan yang naik, tanjakkannya cukup tinggi. Untuk menuju kesana, kebanyakan dari kami harus turun dan berjalan mendorong sepeda yang kami bawa untuk bisa sampai ke atas.
Setelah beberapa saat berlalu, tepung yang kami tunggu pun jadi. Waktu itu hanya membayar ongkos 100 rupiah. Jika berangkat kami menanjak, maka ketika kami pulang kami melalui turunan. Bersama mentari pulang kembali, cahayanya mulai hilang diganti remang malam menjelang. Musibah itu pun terjadi. Aku bersama tetanggaku tadi naik sepeda menuruni turunan dari tempat kami menyelepkan beras. Tidak tau kenapa tiba-tiba kami jatuh. Kami jatuh hampir menghantam jembatan dengan pembatas batu, jarak kami paling hanya satu atau dua meter. Alhamdulillah tidak menabrak jembatan itu. Tapi ketika bangun, kaki sebelah kiriku berdarah dibagian bawahnya. Setelah ku periksa ternyata otot kaki bagian belakangku, belakangnya mata kaki di atasnya tumit robek karena masuk jeruji sepeda. Spontan aku menangis. Air mata membanjiri wajahku. Dengan segenap kekuatan yang ada aku terpaksa naik dibonceng sepeda untuk pulang dengan deraian air mata dan rintihan tangisan sepanjang jalan. #kasian......
Riuh ramai suara takbir di mushola tidak lagi bisa kunikmati. Di rumah hanya bisa merintih karena sakit kakiku kian menjadi. Kami yang di pelosok tidak segera ke dokter untuk memberikan pertolongan pertama. Hanya air dari bekicot yang menjadi antiseptik lukaku. Hari raya tahun 1417 H itulah, ketika aku duduk dibangku taman kanak-kanak aku berkeliling kampung digendong kembali oleh ibuku.
Sebenarnya hikmah sederhana dari cerita kecilku di atas adalah ungkapan orang jawa yang bilang bahwa "nek sikil kesandung, mata mendung mbrebes mili. Tapi nek mata keculek sikil njegidek gak nggadek". Paham gak ya???
Saya translate ya, "kalau kaki kesandung, mata akan menangis, tapi kalau mata yang keculek kaki tidak akan tergerak untuk bersimpati." Kurang lebihnya gitu, susah mentranslatenya.
Intinya teman, jika diibaratkan dalam kehidupan itu, kita sebagai anak adalah kaki, atau jempol kaki. orang tua kita adalah mata. jika jempol kaki kita kesandung maka mata akan menangis ikut merasakan sakitnya. Tapi kalau mata kita kelilipan, maka jempol kaki kita tidak akan bisa ngapa-ngapain. Begitulah hubungan kita dengan orang tua. Segala hal yang terjadi dalam kita, orang tua akan ikut merasakannya, meski kita tidak sedang bersama. Ikatan batin beliau sangat luar biasa. Tapi jika ada yang terjadi dengan orang tua kita, jarang naluri kita ikut merasakannya. Bahkan sekarang marak anak membunuh orang tuanya, orang tuanya yang renta dititipkan di panti jompo. Terkadang karena sibuk kita tidak sempatkan untuk menjenguk ketika orang tua kita sakit. Padahal kalau kita sakit dulu mereka rela untuk tidak tidur menemani kita. Sekarang ketika dewasa, insyaAllah mereka juga akan merasa resah dan gundah hatinya. Bahkan ada banyak cerita anak yang tidak sempat melihat orang tuanya karena jauh bekerja atau kadang memilih mengikuti istri merantau jauh ke negeri lain hingga ajal menjemput tidak sempat melihatnya. Naudzubillah.
Semoga kita menjadi anak-anak yang sholeh/ sholihah, walau kita tak bisa membalas segala yang beliau-beliau berikan tapi kita usahakan untuk bisa memberikan yang terbaik untuk mereka.
KASIH IBU
KEPADA BETA
TAK TERHINGGA
SEPANJANG MASA
HANYA MEMBERI
TAK HARAP KEMBALI
BAGAI SANG SURYA
MENYINARI DUNIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar